UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban
tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh
tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi
hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta
keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia
yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban
tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan
Dek1arasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d
dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Repoblik
Indonesia Nomor XVIUMPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia;
Mengingat
1. Pasal 5 ayat ( 1 ), Pasal 20 ayat ( 1 ), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasa129, Pasal 30,
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 aya t(1 )dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG HAK ASASI MANUSIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila hak
dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi.
hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani,
pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau
dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang lelah dilakukan
atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau
memaksa seseorang atau orang ketiga. atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan
oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau
pejabat publik.
5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah
lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang
berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi hak asasi manusia.
BAB II
ASAS-ASAS DASAR
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagia hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta
keadilan.
Pasal 3
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan
sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup berrnasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang
adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4
Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapapun.
Pasal 5
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh
perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di
depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan
yang objektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompk masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 6
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat,
dan Pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 7
(1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum
internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum
Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima
negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan hukum internsional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang
menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah.
BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian Kesatu
Hak untuk Hidup
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Bagian Kedua
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Pasal 10
(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
(2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon 238 suami
dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Ketiga
Hak Mengembangkan Diri
Pasal ll
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang
secara layak.
Pasal 12
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk
memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya
agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berahlak mulia,
bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi
kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.
Pasal 14
( I) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara
pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan
organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta
menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Keempat
Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17
Setiap orang. tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata,
maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak
memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh
hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 18
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan
sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan
hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak
pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan
yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas
suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
Pasal 19
(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa
perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.
(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan
berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang-iutang.
Bagian Kelima
Hak Atas Kebebasan Pribadi
Pasal 20
(1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
(2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala
perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.
Pasal 21
Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu
tidak boleh manjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya.
Pasal 22
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 23
(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
(2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat
sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Pasal 24
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud
damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik,
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam
jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hakasasi manusia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk
mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status
kewarganegaraannya.
(2) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak
menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib
melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 27
(1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan
bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah
negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Hak atas Rasa Aman
Pasal 28
(1) Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari
negara lain.
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang
melakukan kejahatan non politik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan
prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan hak miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana
saja ia berada.
Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Pasal 31
(1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.
(2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu
rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan
dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Pasal 32
Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan
komunikasi melalui sarana elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim
atau kakuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang
secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai,
aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak
asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini.
Bagian Ketujuh
Hak atas Kesejahteraan
Pasal 36
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara
yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara
melawan hukum.
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 37
(1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan
dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus
dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara
waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Pasal 38
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas
pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak
pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,
sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja
yang sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan
dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan
prestasinya dan dapat menjarmin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Pasal 39
Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk
menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 41
(1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak
serta untuk perkembangan priadinya secara utuh.
(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak,
berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara,
untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bennasyarakat, berbangsa, dan bemegara.
Bagian Kedelapan
Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Pasal 43
(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih da1am pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melaui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemeerintahan dengan langsung atau
dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun besama-sama berhak mengajukan pendapat,
permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan
pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesembilan
Hak Wanita
Pasal 45
Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.
Pasal 46
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem
pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai
persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47
Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak
secara
untuk
kewargotomatis mengikuti
mempertahankan,
anegaraannya.
status
menkewarganegaraan
gganti, atau
suaminya
memperoleh
tetapi mempunyai hak
kembali status
Pasal 48
Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan
jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Pasal 49
(1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi
sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan
pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan
atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
(3) Hak khusus yangmelekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin
dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50
Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan
hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
Pasal 51
(1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan
perkawinannya. hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta
pengelolaan harta bersama.
(2) Setelah putusnya perkawinan. seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab
yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anakanaknya.
dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
(3) Setelah putusnya perkawinan. seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan
mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa
mengurangi hak anak. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesepuluh
Hak Anak
Pasal 52
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, Masyarakat, dan
negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui
dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 53
(1) Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap anak sejak kelahirannya. berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan. dan bantuan khusus atas biaya negara. untuk menjamin kehidupannya sesuai
dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bemegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Pasal 56
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya
dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini. maka anak tersebut boleh diasuh
atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara dirawat, dan dibimbing
kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan
putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan
kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
kekerasan fisik atau mental. penelantaran. perlakuan buruk, dan pelecehan seksual
selama dalam pengasuhan orang tua atau waljnya, atau pihak lain manapun yang
bertanggungjawab atas pengasuhan
(2) Dalam hal orang tua. wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual
termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya
dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan
dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah
yang menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu
langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin
oleh Undang-undang.
Pasal 60
(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakal, dan tingkat kecerdasannya.
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat intelektualilas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan dirinya.
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara
layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mentap spiritualnya.
Pasa163
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa
bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh per1indungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi
dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu
pendidikan, kesehatan fisik, moral. kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Pasal 66
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku
tindak pidana yang masih anak.
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir .
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai
dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi
kepentingannya.
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh baittuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB IV
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan
perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum intemasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain serta menjadi tugas
Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia
yang.diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 72
Kewajibandan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71,
meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
BAB VI
PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum, dan kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah.
partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak. atau
menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undangundang
ini.
BAB VII
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pasal 75
Komnas HAM bertujuan :
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945. dan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
c. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam
berbagai bidang kehidupan.
Pasal 76
(1) Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian,
penelitian, penyuluhan. pemantauan, dan mediasi tentang hakasasi manusia.
(3) Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan
berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan
yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar
manusia.
(4) Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
(5) Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Pasal 77
Komnas HAM berasaskan Pancasila.
Pasal 78
(1) Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari :
a. sidang paripurna; dan
b. sub komisi.
(2) Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.
Pasal 79
(1) Sidang Paripurna adalah pemegang kekuasaan tertinggi Komnas HAM.
(2) Sidang Paripurna terdiri dari seluruh anggota Komnas HAM.
(3) Sidang Paripurna menetapkan Peraturan Tata Tertib, Program Kerja, dan Mekanisme
Kerja Komnas HAM.
Pasal 80
(1) Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh Subkomisi.
(2) Ketentuan mengenai Subkomisi diaturdalamPeraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 81
(1) Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan
Komnas HAM.
(2) Sekretariat Jenderal dipimpin olehSekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja
dalam bentuk biro-biro.
(3) Sekretaris Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas
HAM.
(4) Sekretaris Jenderal diusulkan oleh Sidang Paripurna dan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
(5) Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 82
Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam
Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 83
(1) Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan
diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
(2) Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota.
(4) Masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama5 (lima) tahun dan setelah berakhir
dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 84
Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah Warga Negara Indonesia
yang :
a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok
yang dilanggar hak asasi manusianya;
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi
hukum lainnya;
c. berpengalaman di bidang legislatif. eksekutif. dan lembaga tinggi negara; atau
d. merupakan tokoh agama. tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat.
dan kalangan perguruan tinggi.
Pasal 85
(1) Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang
Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota karena :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan
tugas selama 1 (satu) tahun secara terus menerus;
d. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau
e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang
Paripurna karena mencemarkan martabat dan reputasi, dan atau mengurangi
kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Pasal 86
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan. pengangkatan. serta pemberhentian
keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib
Komnas HAM.
Pasal 87
(1) Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban :
a. menaati ketentuan peraturan perundang-unangan yang berlaku dan keputusan
Komnas HAM.
b. berpartisipasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas
HAM; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas
HAM yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
(2) Setiap Anggota Komnas HAM berhak :
a. menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang Paripuma dan Subkomisi;
b. memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang Paripuma dan
Subkomisi;
c. mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam
Sidang Paripuma; dan
d. mengajukan bakal ca]on Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripuma untuk.
pergantian periodik dan antar waktu.
Pasal 88
Ketentuan lebih ]anjut mengenai kewajiban dan hak Anggota Komnas HAM serta tata
cara pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 89
(1) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM da]am pengkajian dan penelitian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang
melakukan :
a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen intemasional hak asasi manusia
dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau
ratifikasi;
b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk
memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;
c. penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;
d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak
asasi manusia;
e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan,
dan pemajuan hak asasi manusia; dan
f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak
lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak
asasi manusia.
(2) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat
Indonesia;
b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia mela]ui
lembaga pendidikan formal dan nonformal serta berbagai kalangan lainnya; dan
c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik ditingkat nasional,
regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia;
(3) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAMdalam pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengamatan pe]aksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil
pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak
asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan
untuk dimintai dan didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi
pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis
atau menyerahkan dokumen yang diper]ukan sesuai dengan aslinya dengan
persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat
lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua
Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara
tertentu yang sedang dalam proses peradilan. Bilamana dalam perkara tersebut
terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara
pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut
wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
(4) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi. dan
penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Pasal 90
(1) Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak
asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis
pada Komnas HAM.
(2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas
pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang
diadukan.
(3) Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai
dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban. kecuali
untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas
HAM.
(4) Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
meliputi pula pengaduan melalui perwakilkan mengenai pelanggaran hak asasi
manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Pasal 91
(1) Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan
apabila:
a. tidak memiliki bukti awal yang memadai;
b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia;
c. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari
pengadu;
d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan;
atau
e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 92
(1) Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak
asasi yang bersangkutan atau terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada,
Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan identitas pengadu, dan pemberi
keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau
pemantauan.
(2) Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi
penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM, yang
berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan
bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya tersebut dapat ;
a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
c. membahayakan keselamatan perorangan;
d. mencemarkan nama baik perorangan;
e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses
pengambilan keputusan Pemerintah;
f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan,
penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana;
g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada; atau
h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang.
Pasal 93
Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan
lain oleh Komnas HAM.
Pasal 94
(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan
Komnas HAM.
(2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak
lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.
Pasal 95
Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan
keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk
pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 96
(1) Penyelesaian sebagaimanadimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan
oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk sebagai mediator.
(2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan
secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator .
(3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan
mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
(4) Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka
waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat
memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan
dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
(5) Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 97
Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas,
dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang
ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden dengan
tembusan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 98
Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 99
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas
HAM diatur Iebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
BAB VIII
PARTISIPASI MASYARAKA T
Pasal l00
Setiap orang, keIompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, Lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi daIam
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal l0l
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lemhaga lainyang
berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal l02
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga : swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakan lainnya, berhak untuk, mengajukan usaha
mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada
Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.
Pasal l03
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik
secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan Komnas HAM dapat melakukan
penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
BAB IX
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pasal l04
(1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak
Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Pengadilan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang- undang
dalam jangka waktu paling lama 4 ( empat) tahun.
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal l05
(1) Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dengan
Undang-undang ini.
(2) Pada saat berlakunya Undang-undang ini :
a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun
1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas
HAM menurut Undang-undang ini;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi,
tugas, dan wewenangnya, berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya
keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan
c. semua permasalahan yang sedang ditangani olehKomnas HAM tetap dilanjutkan
penyelesaiannya berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini
susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM
harus disesuaikan dengan Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUANPENUTUP
Pasal l06
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRET ARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165
PENJELASAN
ATAS
UNDANG.UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR39TAHUNl999
TENTANG
HAK ASASI MANUSIA
I. UMUM
Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang
memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang
akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya.
Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk
memutuskan sendiri perilaku
atau perbuatannya. Di sampaing itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia
memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat
pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang, Maha Esa. Hak-hak ini tidak
dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat
kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban
kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa
kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara.
Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung
pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang
dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh
karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa
setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain.
Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara
dan pemerintah, Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk
menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga
negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Kewajiban menghonnati hak asasi manusia
tersebut, tercennin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai
keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan
kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk
beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan
kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar
etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status
sosiallainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak
asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga
negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit
yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of
human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan
penghormatan, perlindungan, atau penegakan hakasasi manusia masih jauh dari
memuaskan.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah
tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemukaagama beserta keluarganya. Selain itu,
terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang
seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi
justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan
nyawa.
Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis
Pennusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/l998 tentang Hak Asasi
Manusia menugaskan kepadaLembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur
Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahainan
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi
berbagai instrument Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
Di samping kedua sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada
dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk
undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi
manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah
ada, perlu dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.
Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;
b. pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan
serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia
akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi
serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus);
d. karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu
dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia
bukanlah tanpa batas;
e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun;
f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi
manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;
g. hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk
itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban
dan tanggungjawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan
penegakan hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai
instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini
disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak
dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan,
hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi
manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab
pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.
Di samping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang,
dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan
dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajaran usulan mengenai
perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM,
penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh
peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia.
Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi
manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia
pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan
kehilangan harkat dan martabat kemanusiannya. Oleh karena itu, negara Republik
Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik,
ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkahlangkah
konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun" termasuk keadaan perang, sengketa
bersenjata, dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan “siapapun" adalah Negara,
Pemerintah dan atau anggota masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 5
Ayat (I)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang rentan" antara lain adalah orang
lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Pasal 6
Ayat (I)
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan
masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan
penegakan hak asasi
manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat
hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat
hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan
dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “upaya hukum" adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap
orang atau kelompok orang untuk membela dan memulihkan hak-haknya yang disediakan
oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas HAM atau oleh pengadilan.
Termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tingkat pertama
dan tingkat banding. Dalam Pasal ini dimaksudkan bahwa mereka yang ingin
menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh
semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local
remedies) sebelum menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional,
kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari forum hukum nasional.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.
Pasal 9
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf
kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir
atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu
demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan
dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau
kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk
hidup dapat dibatasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat(3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah" adalah perkawinan yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Ayat(2)
Yang dimaksud dengan “kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci
tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami
dan atau calon istri,
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (I)
Yang dimaksud dengan "seluruh harta kekayaan milik yang bersalah" adalah harta yang
bukan berasal dari pelanggaran atau kejahatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “menjadi objek penelitia” adalah kegiatan menempatkan
seseorang sebagai pihak yang dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang
menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadinya serta direkam gambar dan
suaranya.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya”
adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya
paksaan dari siapapun juga.
Ayat (2)
Cukup je]as
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup je]as
Pasal 26
Cukup jelas
Pasa1 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (I)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah
negara yang menerima pencari suaka.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat(l)
Yang dimaksud dengan “tidak boleh digangg” adalah hak yang berkaitan dengan
kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pcnghilangan paksa" dalam ayat ini adalah tindakan yang
dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan
keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan “penghilangan nyawa” adalah
pembunuhan yang dilakukan sewenang- wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayal(l)
Cukup jelas
Ayat(2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hak milik mempunyai fungsi sosial”adalah bahwa setiap
penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum.
Apabila kepentingan umum menghendaki alau membutuhkan benar -benar maka hak
milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “tidak boleh dihambat" adalah bahwa setiap orang atau pekerja
tidak dapat dipaksa untuk menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu
serikat pekerja.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (I)
Yang dimaksud dengan “berhak atas jaminan sosial” adalah bahwa setiap warga negara
mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
kemampuan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kemudahan dan perlakuan khusu” adalah pemberian pelayanan.
jasa, atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan
keselamatan.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Yang dimaksud dengan “keterwakilan wanita” adalah pemberian kesempatan dan
kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang
eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan
kesetaraan jender .
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi” adalah
pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian
kesempatan untuk menyusui anak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan hukum sendiri” adalah cakap menurut
hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah
dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.
Pasal 51
Ayal (I)
Cukup jelas
Ayal (2)
Yang dimaksud dengan “tanggung jawab yang sama” adalah suatu kewajiban yang
dibebankan kepada kedua orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang,
serta pembinaan masa
depan yang baik bagi anak.
Yang dimaksud dengan “Kepentingan terbaik bagi anak” adalah sesuai dengan hak anak
sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The
Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup je)as
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat(2)
Yang dimaksud dengan “suatu nama” adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung,
dan atau nama keluarga, dan atau nama marga.
Pasal 54
Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi
kalangan yang tidak mampu.
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah
seorang dari orang tuanya, atau dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak
disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya.
Pasal 60
Ayat (l)
Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
mencakup kegiatan produksi, peredaran, dan perdagangan sampai dengan penggunaannya
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasa1 72
Cukup jelas
Pasal 73
Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan
Pasa1 4 dan Pasal 9.
Yang dimaksud dengan “kepentingan bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan
merupakan kepentingan penguasa.
Pasa174
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil
keuntungan sepihak dan atau mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan
ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan berkurangnya dan atau
hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang ini.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (I)
Yang dimaksud dengan “diresmikan oleh Presiden” adalah dalam bentuk Keputusan
Presiden.Peresmian oleh Presiden dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM.
Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi dari berbagai
lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling
banyak 70 (tujuh puluh) orang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu
kepada yang bersangkutan dan diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna
yang diadakan khusus untuk itu.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Aya1 (1)
Cukup jelas
Aya1 (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyelidikan dan pemeriksaan” dalam rangka pemantauan
adalah kegiatan pencarian data, informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya
pelanggaran hak asasi manusia.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik” antara
lain mengenai pertanahan, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mediasi” adalah penyelesaian perkara perdata di luar
pengadilan, atas dasar kesepakatan para pihak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pengaduan melalui perwakilan” adalah pengaduan yang
dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu
yang dilanggar hak asasinya dan atau atas dasar kesamaan kepentingan hukumnya.
Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan”itikad buruk” adalah perbuatan yang mengandung maksud dan
tujuan yang tidak baik misalnya pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak
benar. dan atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan pencemaran nama baik
perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat.
Yang dimaksud dengan”tidak ada kesungguhan” adalah bahwa pengadu benar-benar
tidakbermaksud menyelesaikan sengketanya. misalnya pengadu telah 3 (tiga) kali
dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan”dalam Pasal ini
adalah ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia
yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura.
Pasal 96
Ayat (l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan
oleh mediator kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Ayat (4)
Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekusi) kepada
Pengadilan Negeri dilakukan melalui Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan
tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat dilaksanakan oleh
pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut.
Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga
tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui pengadilan.
Ayat(5)
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cuk.up jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (l)
Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan
massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
(arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa,
perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
diserimination).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengadilan yang berwenang” meliputi empat lingkungan
peradilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1910 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undangundang
Nomor 35 Tahun 1999.
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal l06
Cukup jelas
Minggu, 04 Oktober 2009
Kamis, 01 Oktober 2009
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu
diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial
menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil,
dan murah;
c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c
perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan
Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3327)
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.
5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
6. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
8. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
10. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral.
12. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
13. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral.
14. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah
seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh
Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
15. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan
Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat
para pihak dan bersifat final.
16. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau
lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan
oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak
dan bersifat final.
17. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
18. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan
Hubungan Industrial.
19. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.
20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung
yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan
tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan
melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit
telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas
untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada
para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui
arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi
atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung
jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada
mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial.
Pasal 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang
ditandatangani oleh para pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Pasal 7
(1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai
kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani
oleh para pihak.
(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi
hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh
para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat
penetapan eksekusi.
(6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap
kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya
perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
Pasal 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi
guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian
biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 12
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan
keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang
karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator
yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf
c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran
tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e
dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk
mendapat penetapan eksekusi.
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian
Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 14
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a
ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 15
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja
mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 17
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar
pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 18
(1) Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi
tempat pekerja/buruh bekerja.
(2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada
konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
(3) Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari
daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Pasal 19
(1) Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi
legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 20
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan
penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian
tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah
dilakukan sidang konsiliasi pertama.
Pasal 21
(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian
biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan
keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 23
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator
yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf
c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf a, maka, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak
anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak
membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e
dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf e tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat
penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian
Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 24
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a
ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada pengadilan negeri setempat
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Pasal 25
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
Pasal 26
(1) Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian
perselisihan yang dibebankan kepada negara.
(2) Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 27
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri atau
Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 28
Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator serta
tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keempat
Penyelesaian Melalui Arbitrase
Pasal 29
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Pasal 30
(1) Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus
arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 31
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang
dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian
arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun.
(2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 32
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar
kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga)
dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
(3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekurang-
kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada
arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang
berselisih.
Pasal 33
(1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih arbiter dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter
(majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka para pihak
harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis) dalam
jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh
para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dilakukan
secara tertulis.
(6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun
beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat
arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan kepada para
pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan
penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang
berselisih.
(2) Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih
dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada
arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang
berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya
dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
(3) Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan arbiter mendapatkan 1 (satu)
yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(4) Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari perjanjian
tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
Pasal 35
(1) Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak
dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
(2) Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas
sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut.
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak,
arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk
dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat
diterima.
Pasal 36
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para
pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua belah pihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau meninggal
dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih
arbiter.
(3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri atau
meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti berdasarkan
kesepakatan para arbiter.
(4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti dalam
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak
mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau salah satu
arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial
untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan harus menetapkan arbiter
pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya permintaan penggantian arbiter.
Pasal 37
Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat pernyataan
kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian
perkara.
Pasal 38
(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat
diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup
bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya
tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan
perlawanan.
Pasal 39
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan kepada
Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter yang
bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan kepada
majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal 40
(1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter.
(2) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka
waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pasal 41
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan
secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain.
Pasal 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan
surat kuasa khusus.
Pasal 43
(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu
alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter
atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas
arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
(2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak
atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah
dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan
menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
(3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian penunjukan
arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak dapat diminta kembali
oleh para pihak.
Pasal 44
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan
upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter
atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para
pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan
perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan
sebagai berikut:
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian
didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta
Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal, arbiter
atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
Pasal 45
(1) Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan
secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang
dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
(2) Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan
penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap
perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 46
(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang
saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
(2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan
sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
(3) Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan pengambilan
sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang
meminta.
(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak
yang meminta.
(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh arbiter
dibebankan kepada para pihak.
Pasal 47
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
undang-undang ini wajib memberikannya, termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang yang
karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 48
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara
pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 49
Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.
Pasal 50
(1) Putusan arbitrase memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak
yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang
berselisih;
f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan;
i. mulai berlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan
sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus dicantumkan dalam putusan.
(4) Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja harus
sudah dilaksanakan.
Pasal 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang
berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat
eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus
dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan
pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pasal 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan,
Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase
tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas
segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan
fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad
tidak baik dari tindakan tersebut.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
U m u m
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum.
Pasal 56
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Pasal 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara
tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 59
(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan
Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap
Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan.
(2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden
harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat.
Pasal 60
(1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
(2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi
Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan
diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Ketua
Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat
pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan
Industrial kepada Presiden.
Pasal 64
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.
Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya,
bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan
melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diambil
sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha.
(2) Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.
Pasal 67
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada
Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh)
tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi buruh
yang mengusulkan; atau
g. telah selesai masa tugasnya.
(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan yang sah;
atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan
pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2).
Pasal 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan dengan
memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi pengusaha.
Pasal 71
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim,
Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim
Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial
pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua
Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan
Hakim Ad-Hoc.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua
Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi.
(5) Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi
Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus perselisihan.
Pasal 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak
hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial
dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh
seorang Panitera Muda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 75
(1) Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai
tugas:
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan
b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.
(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya
memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang,
penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian
Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diatur lebih
lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh Hakim,
Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
(1) Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya yang
disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baik
asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan
kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh
bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak
diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Pasal 83
(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan
gugatan kepada pengugat.
(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim
meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya.
Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan
memberikan kuasa khusus.
Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan
oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya
apabila disetujui tergugat.
Pasal 86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan
pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus
terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.
Pasal 87
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa
hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.
Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas
1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc
sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang Hakim
Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan
seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi
pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
(1) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis
Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama.
(2) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan
dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau
apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman
terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal
kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau
Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil
atau tempat kediaman yang terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang
lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka
surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan
Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan
guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban
untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah
sumpah.
Pasal 91
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna penyelidikan
untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang
ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang
karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 92
Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88 ayat (1).
Pasal 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari
sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan
sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada
sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka
gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya
sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada
sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka
Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan
lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib
persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis
Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua
Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha
untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh
yang bersangkutan.
(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari
persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha,
Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan
Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat
digunakan upaya hukum.
Pasal 97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus
dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas
setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Paragraf 3
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang
berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada
Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan
upaya hukum.
Pasal 99
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan,
Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2),
menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
pemeriksaan.
(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing
ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang
ada, kebiasaan, dan keadilan.
Pasal 101
(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk
menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai putusan
Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat
putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan
para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama
Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang
pertama.
Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan
pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera
Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang
dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.
Pasal 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan
hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap
apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis
hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan
putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus
menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah
Agung.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim Ad-
Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial
pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada
Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan kasasi.
BAB V
SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 116
(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa
hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
Pegawai Negeri Sipil.
(2) Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada
para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 117
(1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dalam
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang
bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
konsiliator dalam hal:
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai
konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga)
kali;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan; dan atau
d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (3).
Pasal 119
(1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu
perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau
tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai arbiter.
(3) Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah
yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
arbiter dalam hal:
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase
perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan
permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai
arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang
sedang ditanganinya.
Pasal 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119
dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat
(2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat
1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha sosial dan usaha-
usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya diselesaikan
sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan
tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-undang
ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja yang telah
diajukan kepada:
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga
lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau
pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-
lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang ditolak dan diajukan
banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima
masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh
Mahkamah Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain
yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau
pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh
Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-
lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak dan diajukan
banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima
masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan oleh
Mahkamah Agung;
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1227); dan
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di
Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2686); dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan
yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam undang-undang ini.
Pasal 126
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
ttd/cap
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
I. UMUM
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan
perselisihan antara kedua belah pihak.
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi
mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan
yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan.
Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan
kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur di
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta
menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan karena
hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari
oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja.
Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan
kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan
yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua
belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan
Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat
menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh
salah satu pihak.
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang
diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka
jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat dibatasi.
Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat
mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada
umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan keterwakilan di dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan penyelesaian
perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar
hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak dapat lagi
mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi, karena hak-hak
pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam
perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar
hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur
penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif,
sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara
perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan
adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak
pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin
panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa
dicampuri oleh pihak manapun.
Namun demikian pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat
khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi
penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan
menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua
belah pihak yang berselisih.
Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi
keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh
karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini
merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan
industrial.
Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini
mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh :
a. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang
belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan;
b. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan
ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
c. pengakhiran hubungan kerja;
d. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di
atas, maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai berikut :
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di
perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara.
2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun
organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi
pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu
perusahaan.
3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit).
4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka
salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau
Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan
melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian
perselisihan melalui abitrase atas kesepakan kedua belah pihak hanya
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan
perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase, maka sebelum diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan
industrial di pengadilan.
6. Perselisihan Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau
arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih
dahulu melalui mediasi.
7. Dalam hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang
dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan
berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan
tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah
Agung.
9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan
dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
10. Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang
berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya
dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke
Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat
pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke Mahkamah
Agung.
11. Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3
(tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha
dan organisasi pekerja/organisasi buruh.
12. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat
paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 s.d 21
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang
sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah perundingan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat
pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang
berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian perselisihan yang
mereka kehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-syarat
yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang mengatur tentang
pegawai negeri sipil pada umumnya.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang
mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat
perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk
mediator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening
milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang
bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau
saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak
dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai pengajuan gugatan yang diatur dalam ayat ini sesuai
dengan tatacara penyelesaian perkara perdata pada peradilan umum.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan syarat lain dalam huruf i ini adalah
antara lain : pengaturan tentang standar kompetensi konsiliator,
pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi calon konsiliator, dan
masalah teknis lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat
perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk
konsiliator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening
milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang
bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Penetapan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
masyarakat, oleh karena itu tidak setiap orang dapat bertindak sebagai
arbiter.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Mengingat keputusan arbiter ini mengikat para pihak dan bersifat
akhir dan tetap, arbiter haruslah mereka yang kompeten di
bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak tidak sia-sia.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Arbiter yang ditetapkan Pengadilan tidak boleh arbiter yang telah pernah
ditolak oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus arbiter lain.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan menerima hasil-hasil yang telah dicapai bahwa arbiter
pengganti terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin dalam risalah
kegiatan penyelesaian perselisihan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja dihitung sejak arbiter pengganti menandatangani perjanjian
arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang diberikan
oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada seseorang atau lebih
selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk melakukan perbuatan
hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan perkaranya yang
dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini yaitu
para pihak telah dipanggil berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali, setiap
panggilan masing-masing dalam waktu 3 (tiga) hari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat dalam pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah atau surat
perintah lembur dan dilakukan oleh orang yang ahli soal pembukuan
yang ditunjuk oleh arbiter.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening
milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang
bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Upaya hukum melalui permohonan pembatalan dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada pihak berselisih yang dirugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
- Berhubung Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibu Kota
Provinsi sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia memiliki lebih
dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Hubungan Industrial
yang dibentuk untuk pertama kali dengan undang-undang ini adalah
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
- Dalam hal di ibukota provinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota dan
Pengadilan Negeri Kabupaten, maka Pengadilan Hubungan Industrial
menjadi bagian Pengadilan Negeri Kota.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kata segera dalam ayat ini adalah bahwa
dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini
berlaku.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai
dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam
Demi Allah sebelum lafal sumpah dan untuk penganut agama
Kristen/Katholik kata-kata Kiranya Tuhan akan menolong saya
sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sakit jasmani atau rohani terus menerus
adalah sakit yang menyebabkan penderita tidak mampu lagi
melakukan tugasnya dengan baik.
Huruf d.
Cukup jelas.
Huruf e.
Yang dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas misalnya
sering melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas karena
kurang mampu.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud tunjangan dan hak-hak lainnya adalah tunjangan jabatan dan hak-
hak yang menyangkut kesejahteraan.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Penganti dapat
membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu Panitera atau
Panitera Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang memuat:
- nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak;
- pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek gugatan;
- dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hal lain yang dianggap perlu
oleh penggugat.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat perusahaan, tingkat
kabupaten/kota, tingkat provinsi dan pusat baik serikat pekerja/serikat buruh,
anggota federasi, maupun konfederasi.
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus menjaga kerahasiannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 92
Ketentuan sahnya persidangan dalam pasal ini dimaksudkan setiap sidang harus
dihadiri oleh Hakim dan seluruh Hakim Ad-Hoc yang telah ditunjuk untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi
gugatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan salinan
putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak merugikan hak
para pihak.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah Pengadilan
Negeri yang memutus perkara tersebut.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Tenggang waktu dalam pasal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyediaan
dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan sarana dan prasarana
seperti penyediaan kantor dan ruang sidang Pengadilan Hubungan Industrial.
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu
diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial
menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil,
dan murah;
c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c
perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan
Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3327)
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.
5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
6. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
8. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
10. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral.
12. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
13. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral.
14. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah
seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh
Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
15. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan
Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat
para pihak dan bersifat final.
16. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau
lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan
oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak
dan bersifat final.
17. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
18. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan
Hubungan Industrial.
19. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.
20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung
yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan
tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan
melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit
telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas
untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada
para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui
arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi
atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung
jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada
mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial.
Pasal 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang
ditandatangani oleh para pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Pasal 7
(1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai
kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani
oleh para pihak.
(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi
hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh
para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat
penetapan eksekusi.
(6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap
kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya
perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
Pasal 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi
guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian
biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 12
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan
keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang
karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator
yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf
c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran
tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e
dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk
mendapat penetapan eksekusi.
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian
Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 14
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a
ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 15
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja
mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 17
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar
pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 18
(1) Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi
tempat pekerja/buruh bekerja.
(2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada
konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
(3) Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari
daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Pasal 19
(1) Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi
legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 20
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan
penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian
tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah
dilakukan sidang konsiliasi pertama.
Pasal 21
(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian
biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan
keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 23
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator
yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf
c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf a, maka, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak
anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak
membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e
dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf e tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat
penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian
Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 24
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a
ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada pengadilan negeri setempat
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Pasal 25
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
Pasal 26
(1) Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian
perselisihan yang dibebankan kepada negara.
(2) Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 27
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri atau
Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 28
Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator serta
tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keempat
Penyelesaian Melalui Arbitrase
Pasal 29
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Pasal 30
(1) Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus
arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 31
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang
dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian
arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun.
(2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 32
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar
kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga)
dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
(3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekurang-
kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada
arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang
berselisih.
Pasal 33
(1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih arbiter dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter
(majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka para pihak
harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis) dalam
jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh
para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dilakukan
secara tertulis.
(6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun
beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat
arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan kepada para
pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan
penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang
berselisih.
(2) Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih
dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada
arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang
berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya
dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
(3) Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan arbiter mendapatkan 1 (satu)
yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(4) Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari perjanjian
tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
Pasal 35
(1) Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak
dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
(2) Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas
sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut.
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak,
arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk
dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat
diterima.
Pasal 36
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para
pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua belah pihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau meninggal
dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih
arbiter.
(3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri atau
meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti berdasarkan
kesepakatan para arbiter.
(4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti dalam
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak
mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau salah satu
arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial
untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan harus menetapkan arbiter
pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya permintaan penggantian arbiter.
Pasal 37
Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat pernyataan
kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian
perkara.
Pasal 38
(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat
diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup
bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya
tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan
perlawanan.
Pasal 39
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan kepada
Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter yang
bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan kepada
majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal 40
(1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter.
(2) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka
waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pasal 41
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan
secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain.
Pasal 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan
surat kuasa khusus.
Pasal 43
(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu
alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter
atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas
arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
(2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak
atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah
dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan
menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
(3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian penunjukan
arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak dapat diminta kembali
oleh para pihak.
Pasal 44
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan
upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter
atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para
pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan
perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan
sebagai berikut:
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian
didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta
Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal, arbiter
atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
Pasal 45
(1) Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan
secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang
dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
(2) Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan
penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap
perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 46
(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang
saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
(2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan
sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
(3) Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan pengambilan
sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang
meminta.
(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak
yang meminta.
(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh arbiter
dibebankan kepada para pihak.
Pasal 47
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
undang-undang ini wajib memberikannya, termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang yang
karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 48
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara
pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 49
Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.
Pasal 50
(1) Putusan arbitrase memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak
yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang
berselisih;
f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan;
i. mulai berlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan
sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus dicantumkan dalam putusan.
(4) Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja harus
sudah dilaksanakan.
Pasal 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang
berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat
eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus
dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan
pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pasal 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan,
Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase
tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas
segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan
fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad
tidak baik dari tindakan tersebut.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
U m u m
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum.
Pasal 56
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Pasal 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara
tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 59
(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan
Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap
Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan.
(2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden
harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat.
Pasal 60
(1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
(2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi
Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan
diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Ketua
Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat
pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan
Industrial kepada Presiden.
Pasal 64
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.
Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya,
bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan
melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diambil
sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha.
(2) Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.
Pasal 67
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada
Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh)
tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi buruh
yang mengusulkan; atau
g. telah selesai masa tugasnya.
(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan yang sah;
atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan
pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2).
Pasal 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan dengan
memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi pengusaha.
Pasal 71
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim,
Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim
Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial
pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua
Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan
Hakim Ad-Hoc.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua
Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi.
(5) Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi
Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus perselisihan.
Pasal 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak
hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial
dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh
seorang Panitera Muda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 75
(1) Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai
tugas:
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan
b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.
(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya
memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang,
penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian
Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diatur lebih
lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh Hakim,
Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
(1) Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya yang
disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baik
asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan
kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh
bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak
diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Pasal 83
(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan
gugatan kepada pengugat.
(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim
meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya.
Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan
memberikan kuasa khusus.
Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan
oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya
apabila disetujui tergugat.
Pasal 86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan
pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus
terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.
Pasal 87
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa
hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.
Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas
1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc
sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang Hakim
Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan
seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi
pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
(1) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis
Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama.
(2) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan
dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau
apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman
terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal
kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau
Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil
atau tempat kediaman yang terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang
lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka
surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan
Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan
guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban
untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah
sumpah.
Pasal 91
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna penyelidikan
untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang
ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang
karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 92
Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88 ayat (1).
Pasal 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari
sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan
sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada
sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka
gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya
sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada
sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka
Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan
lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib
persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis
Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua
Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha
untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh
yang bersangkutan.
(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari
persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha,
Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan
Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat
digunakan upaya hukum.
Pasal 97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus
dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas
setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Paragraf 3
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang
berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada
Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan
upaya hukum.
Pasal 99
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan,
Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2),
menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
pemeriksaan.
(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing
ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang
ada, kebiasaan, dan keadilan.
Pasal 101
(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk
menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai putusan
Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat
putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan
para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama
Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang
pertama.
Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan
pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera
Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang
dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.
Pasal 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan
hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap
apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis
hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan
putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus
menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah
Agung.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim Ad-
Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial
pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada
Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan kasasi.
BAB V
SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 116
(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa
hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
Pegawai Negeri Sipil.
(2) Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada
para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 117
(1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dalam
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang
bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
konsiliator dalam hal:
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai
konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga)
kali;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan; dan atau
d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (3).
Pasal 119
(1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu
perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau
tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai arbiter.
(3) Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah
yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
arbiter dalam hal:
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase
perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan
permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai
arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang
sedang ditanganinya.
Pasal 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119
dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat
(2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat
1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha sosial dan usaha-
usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya diselesaikan
sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan
tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-undang
ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja yang telah
diajukan kepada:
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga
lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau
pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-
lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang ditolak dan diajukan
banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima
masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh
Mahkamah Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain
yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau
pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh
Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-
lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak dan diajukan
banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima
masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan oleh
Mahkamah Agung;
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1227); dan
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di
Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2686); dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan
yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam undang-undang ini.
Pasal 126
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
ttd/cap
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
I. UMUM
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan
perselisihan antara kedua belah pihak.
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi
mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan
yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan.
Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan
kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur di
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta
menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan karena
hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari
oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja.
Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan
kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan
yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua
belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan
Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat
menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh
salah satu pihak.
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang
diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka
jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat dibatasi.
Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat
mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada
umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan keterwakilan di dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan penyelesaian
perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar
hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak dapat lagi
mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi, karena hak-hak
pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam
perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar
hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur
penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif,
sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara
perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan
adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak
pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin
panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa
dicampuri oleh pihak manapun.
Namun demikian pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat
khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi
penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan
menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua
belah pihak yang berselisih.
Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi
keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh
karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini
merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan
industrial.
Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini
mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh :
a. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang
belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan;
b. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan
ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
c. pengakhiran hubungan kerja;
d. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di
atas, maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai berikut :
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di
perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara.
2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun
organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi
pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu
perusahaan.
3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit).
4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka
salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau
Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan
melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian
perselisihan melalui abitrase atas kesepakan kedua belah pihak hanya
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan
perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase, maka sebelum diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan
industrial di pengadilan.
6. Perselisihan Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau
arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih
dahulu melalui mediasi.
7. Dalam hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang
dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan
berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan
tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah
Agung.
9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan
dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
10. Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang
berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya
dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke
Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat
pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke Mahkamah
Agung.
11. Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3
(tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha
dan organisasi pekerja/organisasi buruh.
12. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat
paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 s.d 21
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang
sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah perundingan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat
pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang
berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian perselisihan yang
mereka kehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-syarat
yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang mengatur tentang
pegawai negeri sipil pada umumnya.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang
mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat
perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk
mediator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening
milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang
bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau
saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak
dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai pengajuan gugatan yang diatur dalam ayat ini sesuai
dengan tatacara penyelesaian perkara perdata pada peradilan umum.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan syarat lain dalam huruf i ini adalah
antara lain : pengaturan tentang standar kompetensi konsiliator,
pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi calon konsiliator, dan
masalah teknis lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat
perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk
konsiliator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening
milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang
bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Penetapan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
masyarakat, oleh karena itu tidak setiap orang dapat bertindak sebagai
arbiter.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Mengingat keputusan arbiter ini mengikat para pihak dan bersifat
akhir dan tetap, arbiter haruslah mereka yang kompeten di
bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak tidak sia-sia.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Arbiter yang ditetapkan Pengadilan tidak boleh arbiter yang telah pernah
ditolak oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus arbiter lain.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan menerima hasil-hasil yang telah dicapai bahwa arbiter
pengganti terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin dalam risalah
kegiatan penyelesaian perselisihan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja dihitung sejak arbiter pengganti menandatangani perjanjian
arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang diberikan
oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada seseorang atau lebih
selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk melakukan perbuatan
hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan perkaranya yang
dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini yaitu
para pihak telah dipanggil berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali, setiap
panggilan masing-masing dalam waktu 3 (tiga) hari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat dalam pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah atau surat
perintah lembur dan dilakukan oleh orang yang ahli soal pembukuan
yang ditunjuk oleh arbiter.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening
milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang
bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Upaya hukum melalui permohonan pembatalan dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada pihak berselisih yang dirugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
- Berhubung Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibu Kota
Provinsi sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia memiliki lebih
dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Hubungan Industrial
yang dibentuk untuk pertama kali dengan undang-undang ini adalah
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
- Dalam hal di ibukota provinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota dan
Pengadilan Negeri Kabupaten, maka Pengadilan Hubungan Industrial
menjadi bagian Pengadilan Negeri Kota.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kata segera dalam ayat ini adalah bahwa
dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini
berlaku.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai
dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam
Demi Allah sebelum lafal sumpah dan untuk penganut agama
Kristen/Katholik kata-kata Kiranya Tuhan akan menolong saya
sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sakit jasmani atau rohani terus menerus
adalah sakit yang menyebabkan penderita tidak mampu lagi
melakukan tugasnya dengan baik.
Huruf d.
Cukup jelas.
Huruf e.
Yang dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas misalnya
sering melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas karena
kurang mampu.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud tunjangan dan hak-hak lainnya adalah tunjangan jabatan dan hak-
hak yang menyangkut kesejahteraan.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Penganti dapat
membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu Panitera atau
Panitera Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang memuat:
- nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak;
- pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek gugatan;
- dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hal lain yang dianggap perlu
oleh penggugat.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat perusahaan, tingkat
kabupaten/kota, tingkat provinsi dan pusat baik serikat pekerja/serikat buruh,
anggota federasi, maupun konfederasi.
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus menjaga kerahasiannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 92
Ketentuan sahnya persidangan dalam pasal ini dimaksudkan setiap sidang harus
dihadiri oleh Hakim dan seluruh Hakim Ad-Hoc yang telah ditunjuk untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi
gugatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan salinan
putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak merugikan hak
para pihak.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah Pengadilan
Negeri yang memutus perkara tersebut.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Tenggang waktu dalam pasal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyediaan
dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan sarana dan prasarana
seperti penyediaan kantor dan ruang sidang Pengadilan Hubungan Industrial.
Langganan:
Postingan (Atom)